Disususn oleh;
Kelompok 6
Anggota ;
1. Berliana febri
2. Fadilatul ni’mah
3. Mifthakul ma’rifa
4. Firnanda Devi Anggraini
A.PENDAHULUAN
Lingkungan merupakan faktor penentu manusia memilih tempat untuk hidup. Oleh
karena itu, manusia memperhatikan kondisi lingkungan dan penguasaan teknologi.
Jika kondisi lingkungan tidak sesuai dengan yang mereka harapkan, mereka tidak
akan mau bertempat tinggal di lokasi tersebut. Manusia selalu berusaha untuk
menjadikan sesuatu menjadi lebih baik. Termasuk dalam hal tempat tinggal.
terdapat beberapa variabel yang berhubungan dengan kondisi lingkungan antara
lain :
- Tersedianya kebutuhan air,
adanya tempat berteduh, kondisi tanah yang tidak terlalu lembab
- Tersedianya sumber makanan
B. Rumusan
Masalah
- Bagaimana pola hunian pada masa
pra aksara?
- Bagaimana Sejarah manusia
menemukan api?
- Bagaimana cara manusia
praaksara mempertahankan hidupnya?
C. Tujuan
Penelitian
- Mampu menjelaskan proses pola
hunian manusia pra aksara mulai dari hidup meramu dan mengumpulkan makanan
sampai dengan bercocok tanam
- Mampu menjelaskan bagaimana api
ditemukan
- Mengetahui kegiatan manusia
purba zaman dahulu
- Menganalisis keterkaitan antara
pola hunian dengan mata pencaharian manusia praaksara
BAB 2 : Isi
A. Pola
Hunian
Manusia
mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa Mesolithikum (batu tengah)
atau masa berburu dan meramu tingkat lanjut. Sebelumnya manusia belum mengenal
tempat tinggal dan hidup nomaden (berpindah-pindah). Setelah mengenal
tempat tinggal, manusia mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat
sederhana yang terbuat dari batu, tulang binatang ataupun kayu. Pada dasarnya
hunian pada zaman praaksara terdiri atas dua macam, yaitu :
1. Nomaden
Nomaden adalah pola hidup dimana manusia purba pada saat itu hidup
berpindah-pindah atau menjelajah. Mereka hidup dalam komunitas-kuminatas kecil
dengan mobilitas tinggi di suatu tempat. Mata pencahariannya adalah berburu dan
mengumpulkan makanan dari alam (Food Gathering)
2. Sedenter
Sedenter adalah pola hidup menetap, yaitu pola kehidupan dimana
manusia sudah terorganisir dan berkelompok serta menetap di suatu tempat. Mata
pencahariannya bercocok tanam serta sudah mulai mengenal norma dan adat yang
bersumber pada kebiasaan-kebiasaan
Pola hunian
manusia purba memiliki dua karakter khas, yaitu :
1. Kedekatan
dengan Sumber Air
Air merupakan kebutuhan pokok mahkluk hidup terutama manusia. Keberadaan air
pada suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di
sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuhan. Air memberikan kesuburan pada tanaman.
2. Kehidupan
di Alam Terbuka
Manusia purba mempunyai kecendrungan hidup untuk menghuni sekitar aliran
sungai. Mereka beristirahat misalnya di bawah pohon besar dan juga membuat atap
dan sekat tempat istirahat itu dari daun-daun. Kehidupan di sekitar sungai itu
menunjukkan pola hidup manusia purba di alam terbuka. Manusia purba juga
memanfaatkan berbagai sumber daya lingkungan yang tersedia, termasuk tinggal di
gua-gua. Mobilitas manusia purba yang tinggi tidak memungkin untuk menghuni gua
secara menetap. Keberadaan gua-gua yang dekat dengan sumber air dan bahan
makanan mungkin saja dimanfaatkan sebagai tempat tinggal sementara.
Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografisnya situs-situs serta kondisi
lingkungannya. Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah
situs-situs purba disepanjang aliran sungai bengawan solo (sangiran, sambung
macan, trinil , ngawi, dan ngandon), merupakan contoh dari adanya kecendrungan
hidup dipinggir sungai. Manusia purba pada zaman berburu dan mengumpulkan
makanan selalu berpindah-pindah mencari daerah baru yang dapat memberikan
makanan yang cukup.
Pada umumnya mereka bergerak tidak terlalu
jauh dari sungai, danau, atau sumber air yang lain, karena binatang buruan
biasa berkumpul di dekat sumber air. Ditempat-tempat itu kelompok manusia
praaksara menantikan binatang buruan mereka. Selain itu, sungai dan danau
merupakan sumber makanan, karena terdapat banyak ikan di dalamnya. Lagi pula di
sekitar sungai biasanya tanahnya subur dan ditumbuhi tanaman yang buah atau
umbinya dapat dimakan
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, mereka telah mulai lebih lama
tinggal di suatu tempat. Ada kelompok-kelompok yang bertempat tinggal di
pedalaman, ada pula yang tinggal di daerah pantai. Mereka yang bertempat
tinggal di pedalaman, biasanya bertempat tinggal di dalam gua-gua atau ceruk
peneduh (rock shelter) yang suatu saat akan ditinggalkan apabila sumber
makanan di sekitarnya habis.
Pada tahun 1928 sampai 1931, Von Stein Callenfels melakukan penelitian
di Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo. Di situ ditemukan kebudayaan abris sous
roche, yaitu merupakan hasil dari kebudayaan yang ditemukan di gua-gua.
Beberapa hasil teknologi bebatuan yang ditemukan adalah ujung panah, flake,
batu penggiling. Selain itu juga ditemukan alat-alat dari tanduk rusa.
Kebudayaan Abris sous roche ini banyak ditemukan di Besuki, Bojonegor,
juga di daerah Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.
Mereka yang tinggal di daerah pantai makanan utamanya berupa kerang, siput dan
ikan. Bekas tempat tinggal mereka dapat ditemukan kembali, karena dapat
dijumpai sejumlah besar sampah kulit-kulit kerang serta alat yang mereka
gunakan.
Di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan, terdapat
tumpukan atau timbunan sampah kulit kerang dan siput yang disebut kjokkenmoddinger
(kjokken = dapur , modding = sampah) . Tahun 1925 Von
Stein Callenfels melakukan penelitian di tumpukan sampah itu. Ia menemukan
jenis kapak genggam yang disebut pebble ( Kapak Sumatra) . Selain itu,
ditemukan juga berupa anak panah atau mata tombak yang diguankan untuk
menangkap ikan.
B. Mengenal
Api
Bagi manusia purba, proses penemuan api merupakan bentuk inovasi yang sangat
penting. Berdasarkan data arkeologi penemuan api diperkirakan ditemukan pada
400.000 tahun yang lalu. Pertama kali api dikenal adalah pada zaman purba yang
secara tidak sengaja mereka melihat petir yaitu cahaya panas dilangit yang
menyambar pohon-pohon disekitarnya, sehingga api itu pun muncul membakar
pohon-pohon itu.
Dalam menemukan api, manusia purba membutuhkan proses yang sangat panjang.
Proses tersebut dikenal dengan trial and error, yaitu seseorang yang
mencoba sesuatu tanpa tahu petunjuk atau cara kerjanya sehingga banyak
mengalami kegagalan dan mereka akan terus mencoba walaupun gagal sampai mereka
menemukan hasil yang mereka inginkan.
Setelah mengalami banyak kegaglan, akhirnya cara membuat apipun ditemukan.
Yaitu dengan membenturkan dua buah batu atau dengan menggesekan dua buah kayu,
sehingga akan menimbulkan percikan api yang kemudian bisa kita gunakan pada
ranting atau daun kering yang kemudian bisa menjadi sebuah api.
Api memperkenalkan manusia pada teknologi memasak makanan dengan cara membakar
dan menggunakan bumbu dengan ramuan tertentu. Selain itu api juga berfungsi
untuk menghangat badan, sumber penerangan, dan sebagai senjata untuk menghalau
binatang buas yang menyerang
Melalui pembakaran juga manusia dapat menaklukan alam, seperti membuka lahan
untuk garapan dengan cara membakar hutan. Kebiasaan bertani dengan cara
menebang lalu membakar di kenal dengan nama slash and burn. Ini adalah
kebiasan pada zaman kuno yang berkembang sampai sekarang.
C.
Dari Berburu-Meramu sampai Bercocok Tanam
Diperkirakan awalnya manusia purba hidup dengan berburu dan meramu. Pada
umumnya mereka masih bergantung pada alam. Untuk bertahan hidup, mereka
menerapkan pola hidup nomaden atau berpindah-pindah tergantung dari
bahan makanan yang tersedia. Alat-alat yang dibuat terbuat dari batu yang masih
sederhana. Hal ini terutama berkembang pada masa Meganthropus dan Pithecanthropus.
Tempat-tempat yang dituju komunitas ini umumnya lingkungan dekat sungai, danau,
atau sumber air lainnya termasuk pantai
Masa manusia purba berburu dan meramu sering disebut dengan masa food
gathering. Mereka hanya bisa mengumpulkan dan menyeleksi makanan karena
belum dapat mengusahakan jenis tanaman untuk dijadikan bahan makanan. Dalam
perkembangannya mulai ada sekelompok manusia purba yang bertempat tinggal
sementara., misalnya di gua-gua, atau di tepi pantai.
Peralihan zaman Mesolithikum ke Neolithikum menandakan adanya revolusi
kebudayaan dari food gathering menuju food producing dengang Homo
sapien sebagai pendukungnya. Kegiatan bercocok tanam dilakukan ketika
mereka mulai bertempat tinggal, walaupun masih bersifat sementara. Mulanya,
mereka melihat biji-bijian sisa makanan yang tumbuh di tanah setelah tersiram
air hujan. Hal itulah yang kemudian mendorong manusia purba untuk bercocok
tanam.
Kegiatan manusia purba bercocok tanam terus mengalami perkembangan. Peralatan
pokoknya adalah kapak persegi dan kapak lonjong. Kemudian berkembang ke alat
lain yang lebih baik. Dengan dibukanya lahan dan tersedianya air yang cukup,
maka terjadilah persawahan untuk bertani. Hal ini berkembang karena saat itu,
yakni sekitar tahun 2000 – 1500 SM ketika mulai terjadi perpindahan orang-orang
dari rumpun bangsa Austronesia dari Yunnan ke Kepulauan Indonesia.
Seiring kedatangan orang-orang dari Yunnan yang kemudian dikenal sebagai nenek
moyang kita itu, maka kegiatan pelayaran dan perdangan mulai dikenal. Dalam
waktu singkat kegiatan perdangan dengan sistem barter mulai berkembang.
Kegiatan bertani juga semakin berkembang karena mereka sudah mulai bertempat
tinggal.
Maluku Utara merupakan pintu masuk manusia
purba sejak jaman Pleistosen Akhir. Dari Maluku Utara baru kemudian menyebar ke
selatan sampai NTT, ke barat sampai Sulawesi dan ke timur sampai Kepulaun
Pasifik. Bukti peninggalan manusia purba di Maluku Utara adalah adanya gua-gua
hunian masa prasejarah (rock shelter) yang tersebar di Morotai,
Halmahera Selatan dan Pulau Gebe. Penelitian oleh Bellwood membuktikan bahwa
gua-gua di daerah Morotai Selatan (Tanjung Pinang dan Daeo) sudah dihuni
manusia purba sejak 14.000 tahun yang lalu. Pada gua Tanjung Pinang bahkan
ditemukan adanya temuan rangka manusia purba. Pada situs pulau Gebe dan gua
Siti Nafisah di Halmahera Selatan ditemukan bekas-bekas kegiatan manusia sejak
masa pra tembikar. Beberapa temuan dari situs-situs di atas menunjukkan adanya
kegiatan manusia dan aktifitas mereka pada masa itu.
Fungsi Gua
Hunian pra sejarah situs Daeo dan Tanjung Pinang
Desa Daeo secara administratif terletak di wilayah kecamatan Morotai Selatan,
dan berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Mata pencaharian utama
penduduk adalah bertani dan sebagian nelayan, pola pemukiman hunian penduduk
desa berjejer di sepanjang pantai di tempat yang landai. Secara topografi letak
desa berada tepat di pinggir pantai, namun di belakang pemukiman penduduk
terletak perbukitan kapur dengan ketinggian 15 – 50 m di atas permukaan laut.
Pada deretan perbukitan kapur inilah terdapat ceruk-ceruk gua yang diperkirakan
dihuni oleh manusia pra sejarah. Sedangkan ceruk peneduh Tanjung Pinang
terletak sekitar 2 km sebelah selatan desa Daeo. Selain di daerah perbukitan di
pinggir pantai juga terdapat sebuah ceruk hunian yang agak besar, dibanding
yang terletak di daerah perbukitan. Manusia prasejarah umumnya tinggal di
daerah yang dekat dengan sumber mata air dan sumber makanan. Berdasarkan
penelitian Bellwood, situs gua hunian Daeo dan Tanjung Pinang sudah dihuni
sejak 14.000 tahun lalu. Bahkan pada masa belakangan situs-situs tersebut masih
digunakan oleh manusia purba.Berdasarkan temuan rangka manusia di Gua Tanjung
Pinang, diketahui manusia penghuni gua Tanjung Pinang berasal dari ras Austro
Melanesia
Fungsi gua
hunian prasejarah dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu.
a. Sebagai
tempat tinggal
Gua-gua dan ceruk payung peneduh (rock shelter), sering digunakan
manusia sebagai tempat berlindung dari gangguan iklim, cuaca (angin, hujan dan
panas), dan juga gangguan dari serangan binatang buas atau kelompok manusia
yang lain. Pada periode penghunian gua, yang paling awal tampak adalah gua
digunakan sebagai tempat tinggal (hunian), kemudian kurun waktu berikutnya
dijadikan tempat kuburan dan kegiatan spiritual lainnya. Pada awal-awal
penghunian, tempat hunian menyatu dengan tempat kuburan. Tetapi seiring dengan
kemajuan teknologi dan semakin bertambahnya jumlah anggota kelompok yang
membutuhkan ruangan yang lebih luas, maka mendorong manusia untuk mencari
tempat tinggal yang baru. Seiring perkembangan wawasan dan pengetahuan, manusia
kemudian memisahkan tempat hunian dan kuburan.
b. Sebagai
kuburan
Selain sebagai tempat tinggal, gua hunian juga berfungsi sebagai kuburan.
Posisi penguburan dalam gua biasanya dalam keadaan terlipat, yang menurut
pendapat para ahli merupakan posisi pada waktu bayi dalam posisi di dalam rahim
ibunya. Penguburan manusia dalam gua pada awalnya sangat sederhana sekali,
berupa penguburan langsung (primair burial), dengan posisi mayat
terlentang atau terlipat, ditaburi dengan warna merah (oker). Bukti
penguburan tertua dalam gua dapat ditemukan pada situs Gua Lawa di Sampung,
Jawa Timur.
Pola penguburan dalam gua secara umum dapat dibagi menjadi penguburan langsung
(primair burial) dan penguburan tidak langsung (second burial),
baik yang menggunakan wadah ataupun yang tidak menggunakan wadah. Wadah yang
biasa digunakan adalah tempayan keramik (guci), gerabah, ataupun peti kayu
dalam berbagai ukuran. Posisi mayat yang paling sering ditemukan adalah lurus,
bisa telentang, miring dengan berbagai posisi dengan tangan terlipat atau
lurus. Posisi lainnya adalah posisi terlipat dengan lutut menekuk dibawah dagu
dan tangan melipat dibagian leher atau kepala. Dalam periode penghunian gua,
kegiatan penguburan merupakan salah satu kegiatan manusia yang dianggap
penting. Awalnya penguburan dilakukan dalam gua yang sama dengan tempat hunian,
yaitu di tempat yang agak dalam dan gelap. Namun seiring perkembangan jumlah
anggota dan wawasan pengetahuan, maka manusia mencari lokasi khusus yang
digunakan sebagai lokasi kuburan yang terpisah dari lokasi hunian. Sehingga
kemudian ditemukan adanya gua-gua yang khusus berisi aktivitas sisa-sisa
penguburan saja.
c. Sebagai
lokasi kegiatan industri alat batu
Selain sebagai tempat hunian dan kuburan, fungsi yang lainnya adalah sebagai
tempat lokasi kegiatan alat-alat batu atau perbengkelan. Banyak situs gua-gua
prasejarah yang ditemukan adanya alat-alat batu dan sisa-sisa pembuatannya.
Dalam hal ini bekas-bekas pengerjaan yang masih tersisa berupa serpihan batu
yang merupakan pecahan batu inti sebagai bahan dasar alat batu. Situs
perbengkelan ini banyak terdapat di pegunungan Seribu Jawa (daerah Pacitan),
dan juga di Sulawesi Selatan. Salah satu situs yang banyak tinggalan sisa alat
batu adalah situs yang terdapat di Punung (Pacitan) yang merupakan sentra
pembuatan kapak perimbas yang kemudian lebih dikenal dengan istilah chopper
chopping tool kompleks.
Dari uraian di atas, dan berdasarkan temuan peninggalan yang ada dapat diketahui
fungsi dari gua hunian di Tanjung Pinang dan Daeo. Gua peneduh Tanjung Pinang
dan Daeo merupakan situs tempat tinggal (hunian) yang menyatu dengan kuburan,
hal ini dapat dilihat dari adanya temuan sisa-sisa aktifitas manusia masa
lampau dan temuan tulang manusia yang berasal dari ras Austro Melanesoid.
Penguburan yang dilakukan di Tanjung Pinang adalah penguburan tidak langsung,
posisi mayat ditemukan dalam wadah yang berupa tembikar. Temuan sisa aktifitas
manusia masa lalu situs Tanjung Pinang dan Daeo adalah adanya sisa pembakaran
dan sisa sampah dapur (kulit kerang dan siput yang merupakan makanan manusia
penghuni gua).
A. Latar
Belakang
Lingkungan merupakan faktor penentu manusia memilih tempat untuk hidup. Oleh
karena itu, manusia memperhatikan kondisi lingkungan dan penguasaan teknologi.
Jika kondisi lingkungan tidak sesuai dengan yang mereka harapkan, mereka tidak
akan mau bertempat tinggal di lokasi tersebut. Manusia selalu berusaha untuk
menjadikan sesuatu menjadi lebih baik. Termasuk dalam hal tempat tinggal.
terdapat beberapa variabel yang berhubungan dengan kondisi lingkungan antara
lain :
- Tersedianya kebutuhan air,
adanya tempat berteduh, kondisi tanah yang tidak terlalu lembab
- Tersedianya sumber makanan
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana pola hunian pada masa
pra aksara?
- Bagaimana Sejarah manusia
menemukan api?
- Bagaimana cara manusia
praaksara mempertahankan hidupnya?
C. Tujuan
Penelitian
- Mampu menjelaskan proses pola
hunian manusia pra aksara mulai dari hidup meramu dan mengumpulkan makanan
sampai dengan bercocok tanam
- Mampu menjelaskan bagaimana api
ditemukan
- Mengetahui kegiatan manusia
purba zaman dahulu
- Menganalisis keterkaitan antara
pola hunian dengan mata pencaharian manusia praaksara
A. Pola Hunian
Manusia
mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa Mesolithikum (batu tengah)
atau masa berburu dan meramu tingkat lanjut. Sebelumnya manusia belum mengenal
tempat tinggal dan hidup nomaden (berpindah-pindah). Setelah mengenal
tempat tinggal, manusia mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat
sederhana yang terbuat dari batu, tulang binatang ataupun kayu. Pada dasarnya
hunian pada zaman praaksara terdiri atas dua macam, yaitu :
1. Nomaden
Nomaden adalah pola hidup dimana manusia purba pada saat itu hidup
berpindah-pindah atau menjelajah. Mereka hidup dalam komunitas-kuminatas kecil
dengan mobilitas tinggi di suatu tempat. Mata pencahariannya adalah berburu dan
mengumpulkan makanan dari alam (Food Gathering)
2. Sedenter
Sedenter adalah pola hidup menetap, yaitu pola kehidupan dimana
manusia sudah terorganisir dan berkelompok serta menetap di suatu tempat. Mata
pencahariannya bercocok tanam serta sudah mulai mengenal norma dan adat yang
bersumber pada kebiasaan-kebiasaan
Pola hunian
manusia purba memiliki dua karakter khas, yaitu :
1. Kedekatan
dengan Sumber Air
Air merupakan kebutuhan pokok mahkluk hidup terutama manusia. Keberadaan air
pada suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di
sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuhan. Air memberikan kesuburan pada tanaman.
2. Kehidupan
di Alam Terbuka
Manusia purba mempunyai kecendrungan hidup untuk menghuni sekitar aliran sungai.
Mereka beristirahat misalnya di bawah pohon besar dan juga membuat atap dan
sekat tempat istirahat itu dari daun-daun. Kehidupan di sekitar sungai itu
menunjukkan pola hidup manusia purba di alam terbuka. Manusia purba juga
memanfaatkan berbagai sumber daya lingkungan yang tersedia, termasuk tinggal di
gua-gua. Mobilitas manusia purba yang tinggi tidak memungkin untuk menghuni gua
secara menetap. Keberadaan gua-gua yang dekat dengan sumber air dan bahan
makanan mungkin saja dimanfaatkan sebagai tempat tinggal sementara.
Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografisnya situs-situs serta kondisi
lingkungannya. Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah
situs-situs purba disepanjang aliran sungai bengawan solo (sangiran, sambung
macan, trinil , ngawi, dan ngandon), merupakan contoh dari adanya kecendrungan
hidup dipinggir sungai. Manusia purba pada zaman berburu dan mengumpulkan
makanan selalu berpindah-pindah mencari daerah baru yang dapat memberikan
makanan yang cukup.
Pada umumnya mereka bergerak tidak terlalu jauh dari sungai, danau, atau sumber
air yang lain, karena binatang buruan biasa berkumpul di dekat sumber air.
Ditempat-tempat itu kelompok manusia praaksara menantikan binatang buruan
mereka. Selain itu, sungai dan danau merupakan sumber makanan, karena terdapat
banyak ikan di dalamnya. Lagi pula di sekitar sungai biasanya tanahnya subur
dan ditumbuhi tanaman yang buah atau umbinya dapat dimakan
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, mereka telah mulai lebih lama
tinggal di suatu tempat. Ada kelompok-kelompok yang bertempat tinggal di
pedalaman, ada pula yang tinggal di daerah pantai. Mereka yang bertempat
tinggal di pedalaman, biasanya bertempat tinggal di dalam gua-gua atau ceruk peneduh
(rock shelter) yang suatu saat akan ditinggalkan apabila sumber makanan
di sekitarnya habis.
Pada tahun 1928 sampai 1931, Von Stein Callenfels melakukan penelitian
di Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo. Di situ ditemukan kebudayaan abris sous
roche, yaitu merupakan hasil dari kebudayaan yang ditemukan di gua-gua.
Beberapa hasil teknologi bebatuan yang ditemukan adalah ujung panah, flake,
batu penggiling. Selain itu juga ditemukan alat-alat dari tanduk rusa.
Kebudayaan Abris sous roche ini banyak ditemukan di Besuki, Bojonegor,
juga di daerah Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.
Mereka yang tinggal di daerah pantai makanan utamanya berupa kerang, siput dan
ikan. Bekas tempat tinggal mereka dapat ditemukan kembali, karena dapat dijumpai
sejumlah besar sampah kulit-kulit kerang serta alat yang mereka gunakan.
Di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan, terdapat
tumpukan atau timbunan sampah kulit kerang dan siput yang disebut kjokkenmoddinger
(kjokken = dapur , modding = sampah) . Tahun 1925 Von
Stein Callenfels melakukan penelitian di tumpukan sampah itu. Ia menemukan
jenis kapak genggam yang disebut pebble ( Kapak Sumatra) . Selain itu,
ditemukan juga berupa anak panah atau mata tombak yang diguankan untuk
menangkap ikan.
B. Mengenal
Api
Bagi manusia purba, proses penemuan api merupakan bentuk inovasi yang sangat
penting. Berdasarkan data arkeologi penemuan api diperkirakan ditemukan pada
400.000 tahun yang lalu. Pertama kali api dikenal adalah pada zaman purba yang
secara tidak sengaja mereka melihat petir yaitu cahaya panas dilangit yang
menyambar pohon-pohon disekitarnya, sehingga api itu pun muncul membakar
pohon-pohon itu.
Dalam menemukan api, manusia purba membutuhkan proses yang sangat panjang.
Proses tersebut dikenal dengan trial and error, yaitu seseorang yang
mencoba sesuatu tanpa tahu petunjuk atau cara kerjanya sehingga banyak
mengalami kegagalan dan mereka akan terus mencoba walaupun gagal sampai mereka
menemukan hasil yang mereka inginkan.
Setelah mengalami banyak kegaglan, akhirnya cara membuat apipun ditemukan.
Yaitu dengan membenturkan dua buah batu atau dengan menggesekan dua buah kayu,
sehingga akan menimbulkan percikan api yang kemudian bisa kita gunakan pada
ranting atau daun kering yang kemudian bisa menjadi sebuah api.
Api memperkenalkan manusia pada teknologi memasak makanan dengan cara membakar
dan menggunakan bumbu dengan ramuan tertentu. Selain itu api juga berfungsi
untuk menghangat badan, sumber penerangan, dan sebagai senjata untuk menghalau
binatang buas yang menyerang
Melalui pembakaran juga manusia dapat menaklukan alam, seperti membuka lahan
untuk garapan dengan cara membakar hutan. Kebiasaan bertani dengan cara
menebang lalu membakar di kenal dengan nama slash and burn. Ini adalah
kebiasan pada zaman kuno yang berkembang sampai sekarang.
C.
Dari Berburu-Meramu sampai Bercocok Tanam
Diperkirakan awalnya manusia purba hidup dengan berburu dan meramu. Pada
umumnya mereka masih bergantung pada alam. Untuk bertahan hidup, mereka
menerapkan pola hidup nomaden atau berpindah-pindah tergantung dari
bahan makanan yang tersedia. Alat-alat yang dibuat terbuat dari batu yang masih
sederhana. Hal ini terutama berkembang pada masa Meganthropus dan Pithecanthropus.
Tempat-tempat yang dituju komunitas ini umumnya lingkungan dekat sungai, danau,
atau sumber air lainnya termasuk pantai
Masa manusia purba berburu dan meramu sering disebut dengan masa food
gathering. Mereka hanya bisa mengumpulkan dan menyeleksi makanan karena
belum dapat mengusahakan jenis tanaman untuk dijadikan bahan makanan. Dalam
perkembangannya mulai ada sekelompok manusia purba yang bertempat tinggal
sementara., misalnya di gua-gua, atau di tepi pantai.
Peralihan zaman Mesolithikum ke Neolithikum menandakan adanya revolusi
kebudayaan dari food gathering menuju food producing dengang Homo
sapien sebagai pendukungnya. Kegiatan bercocok tanam dilakukan ketika
mereka mulai bertempat tinggal, walaupun masih bersifat sementara. Mulanya,
mereka melihat biji-bijian sisa makanan yang tumbuh di tanah setelah tersiram
air hujan. Hal itulah yang kemudian mendorong manusia purba untuk bercocok
tanam.
Kegiatan manusia purba bercocok tanam terus mengalami perkembangan. Peralatan
pokoknya adalah kapak persegi dan kapak lonjong. Kemudian berkembang ke alat
lain yang lebih baik. Dengan dibukanya lahan dan tersedianya air yang cukup,
maka terjadilah persawahan untuk bertani. Hal ini berkembang karena saat itu,
yakni sekitar tahun 2000 – 1500 SM ketika mulai terjadi perpindahan orang-orang
dari rumpun bangsa Austronesia dari Yunnan ke Kepulauan Indonesia.
Seiring kedatangan orang-orang dari Yunnan yang kemudian dikenal sebagai nenek
moyang kita itu, maka kegiatan pelayaran dan perdangan mulai dikenal. Dalam
waktu singkat kegiatan perdangan dengan sistem barter mulai berkembang.
Kegiatan bertani juga semakin berkembang karena mereka sudah mulai bertempat
tinggal.
Maluku Utara merupakan pintu masuk manusia
purba sejak jaman Pleistosen Akhir. Dari Maluku Utara baru kemudian menyebar ke
selatan sampai NTT, ke barat sampai Sulawesi dan ke timur sampai Kepulaun
Pasifik. Bukti peninggalan manusia purba di Maluku Utara adalah adanya gua-gua
hunian masa prasejarah (rock shelter) yang tersebar di Morotai,
Halmahera Selatan dan Pulau Gebe. Penelitian oleh Bellwood membuktikan bahwa
gua-gua di daerah Morotai Selatan (Tanjung Pinang dan Daeo) sudah dihuni
manusia purba sejak 14.000 tahun yang lalu. Pada gua Tanjung Pinang bahkan
ditemukan adanya temuan rangka manusia purba. Pada situs pulau Gebe dan gua
Siti Nafisah di Halmahera Selatan ditemukan bekas-bekas kegiatan manusia sejak
masa pra tembikar. Beberapa temuan dari situs-situs di atas menunjukkan adanya
kegiatan manusia dan aktifitas mereka pada masa itu.
Fungsi Gua
Hunian pra sejarah situs Daeo dan Tanjung Pinang
Desa Daeo secara administratif terletak di wilayah kecamatan Morotai Selatan,
dan berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Mata pencaharian utama
penduduk adalah bertani dan sebagian nelayan, pola pemukiman hunian penduduk
desa berjejer di sepanjang pantai di tempat yang landai. Secara topografi letak
desa berada tepat di pinggir pantai, namun di belakang pemukiman penduduk
terletak perbukitan kapur dengan ketinggian 15 – 50 m di atas permukaan laut.
Pada deretan perbukitan kapur inilah terdapat ceruk-ceruk gua yang diperkirakan
dihuni oleh manusia pra sejarah. Sedangkan ceruk peneduh Tanjung Pinang
terletak sekitar 2 km sebelah selatan desa Daeo. Selain di daerah perbukitan di
pinggir pantai juga terdapat sebuah ceruk hunian yang agak besar, dibanding
yang terletak di daerah perbukitan. Manusia prasejarah umumnya tinggal di
daerah yang dekat dengan sumber mata air dan sumber makanan. Berdasarkan
penelitian Bellwood, situs gua hunian Daeo dan Tanjung Pinang sudah dihuni
sejak 14.000 tahun lalu. Bahkan pada masa belakangan situs-situs tersebut masih
digunakan oleh manusia purba.Berdasarkan temuan rangka manusia di Gua Tanjung
Pinang, diketahui manusia penghuni gua Tanjung Pinang berasal dari ras Austro
Melanesia
Fungsi gua
hunian prasejarah dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu.
a. Sebagai
tempat tinggal
Gua-gua dan ceruk payung peneduh (rock shelter), sering digunakan
manusia sebagai tempat berlindung dari gangguan iklim, cuaca (angin, hujan dan
panas), dan juga gangguan dari serangan binatang buas atau kelompok manusia
yang lain. Pada periode penghunian gua, yang paling awal tampak adalah gua
digunakan sebagai tempat tinggal (hunian), kemudian kurun waktu berikutnya
dijadikan tempat kuburan dan kegiatan spiritual lainnya. Pada awal-awal
penghunian, tempat hunian menyatu dengan tempat kuburan. Tetapi seiring dengan
kemajuan teknologi dan semakin bertambahnya jumlah anggota kelompok yang
membutuhkan ruangan yang lebih luas, maka mendorong manusia untuk mencari
tempat tinggal yang baru. Seiring perkembangan wawasan dan pengetahuan, manusia
kemudian memisahkan tempat hunian dan kuburan.
b. Sebagai
kuburan
Selain sebagai tempat tinggal, gua hunian juga berfungsi sebagai kuburan.
Posisi penguburan dalam gua biasanya dalam keadaan terlipat, yang menurut
pendapat para ahli merupakan posisi pada waktu bayi dalam posisi di dalam rahim
ibunya. Penguburan manusia dalam gua pada awalnya sangat sederhana sekali,
berupa penguburan langsung (primair burial), dengan posisi mayat
terlentang atau terlipat, ditaburi dengan warna merah (oker). Bukti
penguburan tertua dalam gua dapat ditemukan pada situs Gua Lawa di Sampung,
Jawa Timur.
Pola penguburan dalam gua secara umum dapat dibagi menjadi penguburan langsung
(primair burial) dan penguburan tidak langsung (second burial),
baik yang menggunakan wadah ataupun yang tidak menggunakan wadah. Wadah yang
biasa digunakan adalah tempayan keramik (guci), gerabah, ataupun peti kayu
dalam berbagai ukuran. Posisi mayat yang paling sering ditemukan adalah lurus,
bisa telentang, miring dengan berbagai posisi dengan tangan terlipat atau
lurus. Posisi lainnya adalah posisi terlipat dengan lutut menekuk dibawah dagu
dan tangan melipat dibagian leher atau kepala. Dalam periode penghunian gua,
kegiatan penguburan merupakan salah satu kegiatan manusia yang dianggap
penting. Awalnya penguburan dilakukan dalam gua yang sama dengan tempat hunian,
yaitu di tempat yang agak dalam dan gelap. Namun seiring perkembangan jumlah
anggota dan wawasan pengetahuan, maka manusia mencari lokasi khusus yang
digunakan sebagai lokasi kuburan yang terpisah dari lokasi hunian. Sehingga
kemudian ditemukan adanya gua-gua yang khusus berisi aktivitas sisa-sisa
penguburan saja.
c. Sebagai
lokasi kegiatan industri alat batu
Selain sebagai tempat hunian dan kuburan, fungsi yang lainnya adalah sebagai
tempat lokasi kegiatan alat-alat batu atau perbengkelan. Banyak situs gua-gua
prasejarah yang ditemukan adanya alat-alat batu dan sisa-sisa pembuatannya.
Dalam hal ini bekas-bekas pengerjaan yang masih tersisa berupa serpihan batu
yang merupakan pecahan batu inti sebagai bahan dasar alat batu. Situs
perbengkelan ini banyak terdapat di pegunungan Seribu Jawa (daerah Pacitan),
dan juga di Sulawesi Selatan. Salah satu situs yang banyak tinggalan sisa alat
batu adalah situs yang terdapat di Punung (Pacitan) yang merupakan sentra
pembuatan kapak perimbas yang kemudian lebih dikenal dengan istilah chopper
chopping tool kompleks.
Dari uraian di atas, dan berdasarkan temuan peninggalan yang ada dapat diketahui
fungsi dari gua hunian di Tanjung Pinang dan Daeo. Gua peneduh Tanjung Pinang
dan Daeo merupakan situs tempat tinggal (hunian) yang menyatu dengan kuburan,
hal ini dapat dilihat dari adanya temuan sisa-sisa aktifitas manusia masa
lampau dan temuan tulang manusia yang berasal dari ras Austro Melanesoid.
Penguburan yang dilakukan di Tanjung Pinang adalah penguburan tidak langsung,
posisi mayat ditemukan dalam wadah yang berupa tembikar. Temuan sisa aktifitas
manusia masa lalu situs Tanjung Pinang dan Daeo adalah adanya sisa pembakaran
dan sisa sampah dapur (kulit kerang dan siput yang merupakan makanan manusia
penghuni gua).
BAB 3
: Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan :
- Pola hunian manusia purba
terbagi 2 yaitu nomaden dan sedenter
- Pola hunian itu dapat dilihat
dari letak geografis, situs-situs, dan kondisi lingkungan
- Pola kehidupan manusia purba
memiliki 2 karakter khas yaitu kedekatan dengan sumber air dan kehidupan
di alam terbuka
- Berdasarkan data arkeologi, api
kira-kira ditemukan pada 400.000 tahun yang lalu pada periode manusia homo
erectus
- Api ditemukan dengan prinsip
trial and error
- Peralihan zaman Mesolithikum ke
Neolithikum menandakan adanya revolusi kebudayaan dari food gathering
menuju food producing dengang Homo sapien
- Ke datanga Rumpun Austronesia
dari Yunnan ke Indonesia, mengenalkan rakyat indonesia cara berlayar,
bertani, berdagang, dan barter
- Fungai gua hunian pada masa
praaksara berdasarkan situs Daeo dan Tanjung Pinang ada 3 yaitu sebagai
tempat tinggal, kuburan, dan tempat produksi alat batu
Mksih mb fadila, maklah na sdh sy copas.
BalasHapus