Jumat, 05 September 2014

                                  MAKALAH PERKEMBANGAN TEKNOLOGI

                               
                        
                                                Disususn oleh;
Kelompok 6
Anggota ;
1.    Berliana febri
2.    Fadilatul ni’mah
3.    Mifthakul ma’rifa
4.    Firnanda Devi Anggraini


     
           




A.PENDAHULUAN
            Lingkungan merupakan faktor penentu manusia memilih tempat untuk hidup. Oleh karena itu, manusia memperhatikan kondisi lingkungan dan penguasaan teknologi. Jika kondisi lingkungan tidak sesuai dengan yang mereka harapkan, mereka tidak akan mau bertempat tinggal di lokasi tersebut. Manusia selalu berusaha untuk menjadikan sesuatu menjadi lebih baik. Termasuk dalam hal tempat tinggal. terdapat beberapa variabel yang berhubungan dengan kondisi lingkungan antara lain :
  • Tersedianya kebutuhan air, adanya tempat berteduh, kondisi tanah yang tidak terlalu lembab
  • Tersedianya sumber makanan
B. Rumusan Masalah
  • Bagaimana pola hunian pada masa pra aksara?
  • Bagaimana Sejarah manusia menemukan api?
  • Bagaimana cara manusia praaksara mempertahankan hidupnya?
C. Tujuan Penelitian
  • Mampu menjelaskan proses pola hunian manusia pra aksara mulai dari hidup meramu dan mengumpulkan makanan sampai dengan bercocok tanam
  • Mampu menjelaskan bagaimana api ditemukan
  • Mengetahui kegiatan manusia purba zaman dahulu
  • Menganalisis keterkaitan antara pola hunian dengan mata pencaharian manusia praaksara











BAB 2 : Isi
A. Pola Hunian
Manusia mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa Mesolithikum (batu tengah) atau masa berburu dan meramu tingkat lanjut. Sebelumnya manusia belum mengenal tempat tinggal dan hidup nomaden (berpindah-pindah). Setelah mengenal tempat tinggal, manusia mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat sederhana yang terbuat dari batu, tulang binatang ataupun kayu. Pada dasarnya hunian pada zaman praaksara terdiri atas dua macam, yaitu :
1. Nomaden
            Nomaden adalah pola hidup dimana manusia purba pada saat itu hidup berpindah-pindah atau menjelajah. Mereka hidup dalam komunitas-kuminatas kecil dengan mobilitas tinggi di suatu tempat. Mata pencahariannya adalah berburu dan mengumpulkan makanan dari alam (Food Gathering)
2. Sedenter
             Sedenter adalah pola hidup menetap, yaitu pola kehidupan dimana manusia sudah terorganisir dan berkelompok serta menetap di suatu tempat. Mata pencahariannya bercocok tanam serta sudah mulai mengenal norma dan adat yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan
Pola hunian manusia purba memiliki dua karakter khas, yaitu :
1. Kedekatan dengan Sumber Air
            Air merupakan kebutuhan pokok mahkluk hidup terutama manusia. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuhan. Air memberikan kesuburan pada tanaman.
2. Kehidupan di Alam Terbuka
            Manusia purba mempunyai kecendrungan hidup untuk menghuni sekitar aliran sungai. Mereka beristirahat misalnya di bawah pohon besar dan juga membuat atap dan sekat tempat istirahat itu dari daun-daun. Kehidupan di sekitar sungai itu menunjukkan pola hidup manusia purba di alam terbuka. Manusia purba juga memanfaatkan berbagai sumber daya lingkungan yang tersedia, termasuk tinggal di gua-gua. Mobilitas manusia purba yang tinggi tidak memungkin untuk menghuni gua secara menetap. Keberadaan gua-gua yang dekat dengan sumber air dan bahan makanan mungkin saja dimanfaatkan sebagai tempat tinggal sementara.
            Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografisnya situs-situs serta kondisi lingkungannya. Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba disepanjang aliran sungai bengawan solo (sangiran, sambung macan, trinil , ngawi, dan ngandon), merupakan contoh dari adanya kecendrungan hidup dipinggir sungai. Manusia purba pada zaman berburu dan mengumpulkan makanan selalu berpindah-pindah mencari daerah baru yang dapat memberikan makanan yang cukup.
           
       Pada umumnya mereka bergerak tidak terlalu jauh dari sungai, danau, atau sumber air yang lain, karena binatang buruan biasa berkumpul di dekat sumber air. Ditempat-tempat itu kelompok manusia praaksara menantikan binatang buruan mereka. Selain itu, sungai dan danau merupakan sumber makanan, karena terdapat banyak ikan di dalamnya. Lagi pula di sekitar sungai biasanya tanahnya subur dan ditumbuhi tanaman yang buah atau umbinya dapat dimakan
            Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, mereka telah mulai lebih lama tinggal di suatu tempat. Ada kelompok-kelompok yang bertempat tinggal di pedalaman, ada pula yang tinggal di daerah pantai. Mereka yang bertempat tinggal di pedalaman, biasanya bertempat tinggal di dalam gua-gua atau ceruk peneduh (rock shelter) yang suatu saat akan ditinggalkan apabila sumber makanan di sekitarnya habis.
            Pada tahun 1928 sampai 1931, Von Stein Callenfels melakukan penelitian di Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo. Di situ ditemukan kebudayaan abris sous roche, yaitu merupakan hasil dari kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Beberapa hasil teknologi bebatuan yang ditemukan adalah ujung panah, flake, batu penggiling. Selain itu juga ditemukan alat-alat dari tanduk rusa. Kebudayaan Abris sous roche ini banyak ditemukan di Besuki, Bojonegor, juga di daerah Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.
            Mereka yang tinggal di daerah pantai makanan utamanya berupa kerang, siput dan ikan. Bekas tempat tinggal mereka dapat ditemukan kembali, karena dapat dijumpai sejumlah besar sampah kulit-kulit kerang serta alat yang mereka gunakan.
            Di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan, terdapat tumpukan atau timbunan sampah kulit kerang dan siput yang disebut kjokkenmoddinger (kjokken = dapur , modding = sampah) . Tahun 1925 Von Stein Callenfels melakukan penelitian di tumpukan sampah itu. Ia menemukan jenis kapak genggam yang disebut pebble ( Kapak Sumatra) . Selain itu, ditemukan juga berupa anak panah atau mata tombak yang diguankan untuk menangkap ikan.










B. Mengenal Api
            Bagi manusia purba, proses penemuan api merupakan bentuk inovasi yang sangat penting. Berdasarkan data arkeologi penemuan api diperkirakan ditemukan pada 400.000 tahun yang lalu. Pertama kali api dikenal adalah pada zaman purba yang secara tidak sengaja mereka melihat petir yaitu cahaya panas dilangit yang menyambar pohon-pohon disekitarnya, sehingga api itu pun muncul membakar pohon-pohon itu.
            Dalam menemukan api, manusia purba membutuhkan proses yang sangat panjang. Proses tersebut dikenal dengan trial and error, yaitu seseorang yang mencoba sesuatu tanpa tahu petunjuk atau cara kerjanya sehingga banyak mengalami kegagalan dan mereka akan terus mencoba walaupun gagal sampai mereka menemukan hasil yang mereka inginkan.
            Setelah mengalami banyak kegaglan, akhirnya cara membuat apipun ditemukan. Yaitu dengan membenturkan dua buah batu atau dengan menggesekan dua buah kayu, sehingga akan menimbulkan percikan api yang kemudian bisa kita gunakan pada ranting atau daun kering yang kemudian bisa menjadi sebuah api.
            Api memperkenalkan manusia pada teknologi memasak makanan dengan cara membakar dan menggunakan bumbu dengan ramuan tertentu. Selain itu api juga berfungsi untuk menghangat badan, sumber penerangan, dan sebagai senjata untuk menghalau binatang buas yang menyerang
            Melalui pembakaran juga manusia dapat menaklukan alam, seperti membuka lahan untuk garapan dengan cara membakar hutan. Kebiasaan bertani dengan cara menebang lalu membakar di kenal dengan nama slash and burn. Ini adalah kebiasan pada zaman kuno yang berkembang sampai sekarang.











 C. Dari Berburu-Meramu sampai Bercocok Tanam
            Diperkirakan awalnya manusia purba hidup dengan berburu dan meramu. Pada umumnya mereka masih bergantung pada alam. Untuk bertahan hidup, mereka menerapkan pola hidup nomaden atau berpindah-pindah tergantung dari bahan makanan yang tersedia. Alat-alat yang dibuat terbuat dari batu yang masih sederhana. Hal ini terutama berkembang pada masa Meganthropus dan Pithecanthropus. Tempat-tempat yang dituju komunitas ini umumnya lingkungan dekat sungai, danau, atau sumber air lainnya termasuk pantai
            Masa manusia purba berburu dan meramu sering disebut dengan masa food gathering. Mereka hanya bisa mengumpulkan dan menyeleksi makanan karena belum dapat mengusahakan jenis tanaman untuk dijadikan bahan makanan. Dalam perkembangannya mulai ada sekelompok manusia purba yang bertempat tinggal sementara., misalnya di gua-gua, atau di tepi pantai.
            Peralihan zaman Mesolithikum ke Neolithikum menandakan adanya revolusi kebudayaan dari food gathering menuju food producing dengang Homo sapien sebagai pendukungnya. Kegiatan bercocok tanam dilakukan ketika mereka mulai bertempat tinggal, walaupun masih bersifat sementara. Mulanya, mereka melihat biji-bijian sisa makanan yang tumbuh di tanah setelah tersiram air hujan. Hal itulah yang kemudian mendorong manusia purba untuk bercocok tanam.
            Kegiatan manusia purba bercocok tanam terus mengalami perkembangan. Peralatan pokoknya adalah kapak persegi dan kapak lonjong. Kemudian berkembang ke alat lain yang lebih baik. Dengan dibukanya lahan dan tersedianya air yang cukup, maka terjadilah persawahan untuk bertani. Hal ini berkembang karena saat itu, yakni sekitar tahun 2000 – 1500 SM ketika mulai terjadi perpindahan orang-orang dari rumpun bangsa Austronesia dari Yunnan ke Kepulauan Indonesia.
            Seiring kedatangan orang-orang dari Yunnan yang kemudian dikenal sebagai nenek moyang kita itu, maka kegiatan pelayaran dan perdangan mulai dikenal. Dalam waktu singkat kegiatan perdangan dengan sistem barter mulai berkembang. Kegiatan bertani juga semakin berkembang karena mereka sudah mulai bertempat tinggal.
            Maluku Utara merupakan pintu masuk manusia purba sejak jaman Pleistosen Akhir. Dari Maluku Utara baru kemudian menyebar ke selatan sampai NTT, ke barat sampai Sulawesi dan ke timur sampai Kepulaun Pasifik. Bukti peninggalan manusia purba di Maluku Utara adalah adanya gua-gua hunian masa prasejarah (rock shelter) yang tersebar di Morotai, Halmahera Selatan dan Pulau Gebe. Penelitian oleh Bellwood membuktikan bahwa gua-gua di daerah Morotai Selatan (Tanjung Pinang dan Daeo) sudah dihuni manusia purba sejak 14.000 tahun yang lalu. Pada gua Tanjung Pinang bahkan ditemukan adanya temuan rangka manusia purba. Pada situs pulau Gebe dan gua Siti Nafisah di Halmahera Selatan ditemukan bekas-bekas kegiatan manusia sejak masa pra tembikar. Beberapa temuan dari situs-situs di atas menunjukkan adanya kegiatan manusia dan aktifitas mereka pada masa itu.



Fungsi Gua Hunian pra sejarah situs Daeo dan Tanjung Pinang
            Desa Daeo secara administratif terletak di wilayah kecamatan Morotai Selatan, dan berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Mata pencaharian utama penduduk adalah bertani dan sebagian nelayan, pola pemukiman hunian penduduk desa berjejer di sepanjang pantai di tempat yang landai. Secara topografi letak desa berada tepat di pinggir pantai, namun di belakang pemukiman penduduk terletak perbukitan kapur dengan ketinggian 15 – 50 m di atas permukaan laut. Pada deretan perbukitan kapur inilah terdapat ceruk-ceruk gua yang diperkirakan dihuni oleh manusia pra sejarah. Sedangkan ceruk peneduh Tanjung Pinang terletak sekitar 2 km sebelah selatan desa Daeo. Selain di daerah perbukitan di pinggir pantai juga terdapat sebuah ceruk hunian yang agak besar, dibanding yang terletak di daerah perbukitan. Manusia prasejarah umumnya tinggal di daerah yang dekat dengan sumber mata air dan sumber makanan. Berdasarkan penelitian Bellwood, situs gua hunian Daeo dan Tanjung Pinang sudah dihuni sejak 14.000 tahun lalu. Bahkan pada masa belakangan situs-situs tersebut masih digunakan oleh manusia purba.Berdasarkan temuan rangka manusia di Gua Tanjung Pinang, diketahui manusia penghuni gua Tanjung Pinang berasal dari ras Austro Melanesia
Fungsi gua hunian prasejarah dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu.
a. Sebagai tempat tinggal
            Gua-gua dan ceruk payung peneduh (rock shelter), sering digunakan manusia sebagai tempat berlindung dari gangguan iklim, cuaca (angin, hujan dan panas), dan juga gangguan dari serangan binatang buas atau kelompok manusia yang lain. Pada periode penghunian gua, yang paling awal tampak adalah gua digunakan sebagai tempat tinggal (hunian), kemudian kurun waktu berikutnya dijadikan tempat kuburan dan kegiatan spiritual lainnya. Pada awal-awal penghunian, tempat hunian menyatu dengan tempat kuburan. Tetapi seiring dengan kemajuan teknologi dan semakin bertambahnya jumlah anggota kelompok yang membutuhkan ruangan yang lebih luas, maka mendorong manusia untuk mencari tempat tinggal yang baru. Seiring perkembangan wawasan dan pengetahuan, manusia kemudian memisahkan tempat hunian dan kuburan.
b. Sebagai kuburan
            Selain sebagai tempat tinggal, gua hunian juga berfungsi sebagai kuburan. Posisi penguburan dalam gua biasanya dalam keadaan terlipat, yang menurut pendapat para ahli merupakan posisi pada waktu bayi dalam posisi di dalam rahim ibunya. Penguburan manusia dalam gua pada awalnya sangat sederhana sekali, berupa penguburan langsung (primair burial), dengan posisi mayat terlentang atau terlipat, ditaburi dengan warna merah (oker). Bukti penguburan tertua dalam gua dapat ditemukan pada situs Gua Lawa di Sampung, Jawa Timur.
            Pola penguburan dalam gua secara umum dapat dibagi menjadi penguburan langsung (primair burial) dan penguburan tidak langsung (second burial), baik yang menggunakan wadah ataupun yang tidak menggunakan wadah. Wadah yang biasa digunakan adalah tempayan keramik (guci), gerabah, ataupun peti kayu dalam berbagai ukuran. Posisi mayat yang paling sering ditemukan adalah lurus, bisa telentang, miring dengan berbagai posisi dengan tangan terlipat atau lurus. Posisi lainnya adalah posisi terlipat dengan lutut menekuk dibawah dagu dan tangan melipat dibagian leher atau kepala. Dalam periode penghunian gua, kegiatan penguburan merupakan salah satu kegiatan manusia yang dianggap penting. Awalnya penguburan dilakukan dalam gua yang sama dengan tempat hunian, yaitu di tempat yang agak dalam dan gelap. Namun seiring perkembangan jumlah anggota dan wawasan pengetahuan, maka manusia mencari lokasi khusus yang digunakan sebagai lokasi kuburan yang terpisah dari lokasi hunian. Sehingga kemudian ditemukan adanya gua-gua yang khusus berisi aktivitas sisa-sisa penguburan saja.
c. Sebagai lokasi kegiatan industri alat batu
            Selain sebagai tempat hunian dan kuburan, fungsi yang lainnya adalah sebagai tempat lokasi kegiatan alat-alat batu atau perbengkelan. Banyak situs gua-gua prasejarah yang ditemukan adanya alat-alat batu dan sisa-sisa pembuatannya. Dalam hal ini bekas-bekas pengerjaan yang masih tersisa berupa serpihan batu yang merupakan pecahan batu inti sebagai bahan dasar alat batu. Situs perbengkelan ini banyak terdapat di pegunungan Seribu Jawa (daerah Pacitan), dan juga di Sulawesi Selatan. Salah satu situs yang banyak tinggalan sisa alat batu adalah situs yang terdapat di Punung (Pacitan) yang merupakan sentra pembuatan kapak perimbas yang kemudian lebih dikenal dengan istilah chopper chopping tool kompleks.
            Dari uraian di atas, dan berdasarkan temuan peninggalan yang ada dapat diketahui fungsi dari gua hunian di Tanjung Pinang dan Daeo. Gua peneduh Tanjung Pinang dan Daeo merupakan situs tempat tinggal (hunian) yang menyatu dengan kuburan, hal ini dapat dilihat dari adanya temuan sisa-sisa aktifitas manusia masa lampau dan temuan tulang manusia yang berasal dari ras Austro Melanesoid. Penguburan yang dilakukan di Tanjung Pinang adalah penguburan tidak langsung, posisi mayat ditemukan dalam wadah yang berupa tembikar. Temuan sisa aktifitas manusia masa lalu situs Tanjung Pinang dan Daeo adalah adanya sisa pembakaran dan sisa sampah dapur (kulit kerang dan siput yang merupakan makanan manusia penghuni gua).


A. Latar Belakang
            Lingkungan merupakan faktor penentu manusia memilih tempat untuk hidup. Oleh karena itu, manusia memperhatikan kondisi lingkungan dan penguasaan teknologi. Jika kondisi lingkungan tidak sesuai dengan yang mereka harapkan, mereka tidak akan mau bertempat tinggal di lokasi tersebut. Manusia selalu berusaha untuk menjadikan sesuatu menjadi lebih baik. Termasuk dalam hal tempat tinggal. terdapat beberapa variabel yang berhubungan dengan kondisi lingkungan antara lain :
  • Tersedianya kebutuhan air, adanya tempat berteduh, kondisi tanah yang tidak terlalu lembab
  • Tersedianya sumber makanan

B. Rumusan Masalah
  • Bagaimana pola hunian pada masa pra aksara?
  • Bagaimana Sejarah manusia menemukan api?
  • Bagaimana cara manusia praaksara mempertahankan hidupnya?
C. Tujuan Penelitian
  • Mampu menjelaskan proses pola hunian manusia pra aksara mulai dari hidup meramu dan mengumpulkan makanan sampai dengan bercocok tanam
  • Mampu menjelaskan bagaimana api ditemukan
  • Mengetahui kegiatan manusia purba zaman dahulu
  • Menganalisis keterkaitan antara pola hunian dengan mata pencaharian manusia praaksara

















A. Pola Hunian
Manusia mengenal tempat tinggal atau menetap semenjak masa Mesolithikum (batu tengah) atau masa berburu dan meramu tingkat lanjut. Sebelumnya manusia belum mengenal tempat tinggal dan hidup nomaden (berpindah-pindah). Setelah mengenal tempat tinggal, manusia mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat sederhana yang terbuat dari batu, tulang binatang ataupun kayu. Pada dasarnya hunian pada zaman praaksara terdiri atas dua macam, yaitu :
1. Nomaden
            Nomaden adalah pola hidup dimana manusia purba pada saat itu hidup berpindah-pindah atau menjelajah. Mereka hidup dalam komunitas-kuminatas kecil dengan mobilitas tinggi di suatu tempat. Mata pencahariannya adalah berburu dan mengumpulkan makanan dari alam (Food Gathering)
2. Sedenter
             Sedenter adalah pola hidup menetap, yaitu pola kehidupan dimana manusia sudah terorganisir dan berkelompok serta menetap di suatu tempat. Mata pencahariannya bercocok tanam serta sudah mulai mengenal norma dan adat yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan
Pola hunian manusia purba memiliki dua karakter khas, yaitu :
1. Kedekatan dengan Sumber Air
            Air merupakan kebutuhan pokok mahkluk hidup terutama manusia. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuhan. Air memberikan kesuburan pada tanaman.
2. Kehidupan di Alam Terbuka
            Manusia purba mempunyai kecendrungan hidup untuk menghuni sekitar aliran sungai. Mereka beristirahat misalnya di bawah pohon besar dan juga membuat atap dan sekat tempat istirahat itu dari daun-daun. Kehidupan di sekitar sungai itu menunjukkan pola hidup manusia purba di alam terbuka. Manusia purba juga memanfaatkan berbagai sumber daya lingkungan yang tersedia, termasuk tinggal di gua-gua. Mobilitas manusia purba yang tinggi tidak memungkin untuk menghuni gua secara menetap. Keberadaan gua-gua yang dekat dengan sumber air dan bahan makanan mungkin saja dimanfaatkan sebagai tempat tinggal sementara.
            Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografisnya situs-situs serta kondisi lingkungannya. Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba disepanjang aliran sungai bengawan solo (sangiran, sambung macan, trinil , ngawi, dan ngandon), merupakan contoh dari adanya kecendrungan hidup dipinggir sungai. Manusia purba pada zaman berburu dan mengumpulkan makanan selalu berpindah-pindah mencari daerah baru yang dapat memberikan makanan yang cukup.
            Pada umumnya mereka bergerak tidak terlalu jauh dari sungai, danau, atau sumber air yang lain, karena binatang buruan biasa berkumpul di dekat sumber air. Ditempat-tempat itu kelompok manusia praaksara menantikan binatang buruan mereka. Selain itu, sungai dan danau merupakan sumber makanan, karena terdapat banyak ikan di dalamnya. Lagi pula di sekitar sungai biasanya tanahnya subur dan ditumbuhi tanaman yang buah atau umbinya dapat dimakan
            Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, mereka telah mulai lebih lama tinggal di suatu tempat. Ada kelompok-kelompok yang bertempat tinggal di pedalaman, ada pula yang tinggal di daerah pantai. Mereka yang bertempat tinggal di pedalaman, biasanya bertempat tinggal di dalam gua-gua atau ceruk peneduh (rock shelter) yang suatu saat akan ditinggalkan apabila sumber makanan di sekitarnya habis.
            Pada tahun 1928 sampai 1931, Von Stein Callenfels melakukan penelitian di Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo. Di situ ditemukan kebudayaan abris sous roche, yaitu merupakan hasil dari kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Beberapa hasil teknologi bebatuan yang ditemukan adalah ujung panah, flake, batu penggiling. Selain itu juga ditemukan alat-alat dari tanduk rusa. Kebudayaan Abris sous roche ini banyak ditemukan di Besuki, Bojonegor, juga di daerah Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.
            Mereka yang tinggal di daerah pantai makanan utamanya berupa kerang, siput dan ikan. Bekas tempat tinggal mereka dapat ditemukan kembali, karena dapat dijumpai sejumlah besar sampah kulit-kulit kerang serta alat yang mereka gunakan.
            Di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan, terdapat tumpukan atau timbunan sampah kulit kerang dan siput yang disebut kjokkenmoddinger (kjokken = dapur , modding = sampah) . Tahun 1925 Von Stein Callenfels melakukan penelitian di tumpukan sampah itu. Ia menemukan jenis kapak genggam yang disebut pebble ( Kapak Sumatra) . Selain itu, ditemukan juga berupa anak panah atau mata tombak yang diguankan untuk menangkap ikan.











B. Mengenal Api
            Bagi manusia purba, proses penemuan api merupakan bentuk inovasi yang sangat penting. Berdasarkan data arkeologi penemuan api diperkirakan ditemukan pada 400.000 tahun yang lalu. Pertama kali api dikenal adalah pada zaman purba yang secara tidak sengaja mereka melihat petir yaitu cahaya panas dilangit yang menyambar pohon-pohon disekitarnya, sehingga api itu pun muncul membakar pohon-pohon itu.
            Dalam menemukan api, manusia purba membutuhkan proses yang sangat panjang. Proses tersebut dikenal dengan trial and error, yaitu seseorang yang mencoba sesuatu tanpa tahu petunjuk atau cara kerjanya sehingga banyak mengalami kegagalan dan mereka akan terus mencoba walaupun gagal sampai mereka menemukan hasil yang mereka inginkan.
            Setelah mengalami banyak kegaglan, akhirnya cara membuat apipun ditemukan. Yaitu dengan membenturkan dua buah batu atau dengan menggesekan dua buah kayu, sehingga akan menimbulkan percikan api yang kemudian bisa kita gunakan pada ranting atau daun kering yang kemudian bisa menjadi sebuah api.
            Api memperkenalkan manusia pada teknologi memasak makanan dengan cara membakar dan menggunakan bumbu dengan ramuan tertentu. Selain itu api juga berfungsi untuk menghangat badan, sumber penerangan, dan sebagai senjata untuk menghalau binatang buas yang menyerang
            Melalui pembakaran juga manusia dapat menaklukan alam, seperti membuka lahan untuk garapan dengan cara membakar hutan. Kebiasaan bertani dengan cara menebang lalu membakar di kenal dengan nama slash and burn. Ini adalah kebiasan pada zaman kuno yang berkembang sampai sekarang.











  C. Dari Berburu-Meramu sampai Bercocok Tanam
            Diperkirakan awalnya manusia purba hidup dengan berburu dan meramu. Pada umumnya mereka masih bergantung pada alam. Untuk bertahan hidup, mereka menerapkan pola hidup nomaden atau berpindah-pindah tergantung dari bahan makanan yang tersedia. Alat-alat yang dibuat terbuat dari batu yang masih sederhana. Hal ini terutama berkembang pada masa Meganthropus dan Pithecanthropus. Tempat-tempat yang dituju komunitas ini umumnya lingkungan dekat sungai, danau, atau sumber air lainnya termasuk pantai
            Masa manusia purba berburu dan meramu sering disebut dengan masa food gathering. Mereka hanya bisa mengumpulkan dan menyeleksi makanan karena belum dapat mengusahakan jenis tanaman untuk dijadikan bahan makanan. Dalam perkembangannya mulai ada sekelompok manusia purba yang bertempat tinggal sementara., misalnya di gua-gua, atau di tepi pantai.
            Peralihan zaman Mesolithikum ke Neolithikum menandakan adanya revolusi kebudayaan dari food gathering menuju food producing dengang Homo sapien sebagai pendukungnya. Kegiatan bercocok tanam dilakukan ketika mereka mulai bertempat tinggal, walaupun masih bersifat sementara. Mulanya, mereka melihat biji-bijian sisa makanan yang tumbuh di tanah setelah tersiram air hujan. Hal itulah yang kemudian mendorong manusia purba untuk bercocok tanam.
            Kegiatan manusia purba bercocok tanam terus mengalami perkembangan. Peralatan pokoknya adalah kapak persegi dan kapak lonjong. Kemudian berkembang ke alat lain yang lebih baik. Dengan dibukanya lahan dan tersedianya air yang cukup, maka terjadilah persawahan untuk bertani. Hal ini berkembang karena saat itu, yakni sekitar tahun 2000 – 1500 SM ketika mulai terjadi perpindahan orang-orang dari rumpun bangsa Austronesia dari Yunnan ke Kepulauan Indonesia.
            Seiring kedatangan orang-orang dari Yunnan yang kemudian dikenal sebagai nenek moyang kita itu, maka kegiatan pelayaran dan perdangan mulai dikenal. Dalam waktu singkat kegiatan perdangan dengan sistem barter mulai berkembang. Kegiatan bertani juga semakin berkembang karena mereka sudah mulai bertempat tinggal.
            Maluku Utara merupakan pintu masuk manusia purba sejak jaman Pleistosen Akhir. Dari Maluku Utara baru kemudian menyebar ke selatan sampai NTT, ke barat sampai Sulawesi dan ke timur sampai Kepulaun Pasifik. Bukti peninggalan manusia purba di Maluku Utara adalah adanya gua-gua hunian masa prasejarah (rock shelter) yang tersebar di Morotai, Halmahera Selatan dan Pulau Gebe. Penelitian oleh Bellwood membuktikan bahwa gua-gua di daerah Morotai Selatan (Tanjung Pinang dan Daeo) sudah dihuni manusia purba sejak 14.000 tahun yang lalu. Pada gua Tanjung Pinang bahkan ditemukan adanya temuan rangka manusia purba. Pada situs pulau Gebe dan gua Siti Nafisah di Halmahera Selatan ditemukan bekas-bekas kegiatan manusia sejak masa pra tembikar. Beberapa temuan dari situs-situs di atas menunjukkan adanya kegiatan manusia dan aktifitas mereka pada masa itu.
Fungsi Gua Hunian pra sejarah situs Daeo dan Tanjung Pinang
            Desa Daeo secara administratif terletak di wilayah kecamatan Morotai Selatan, dan berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Mata pencaharian utama penduduk adalah bertani dan sebagian nelayan, pola pemukiman hunian penduduk desa berjejer di sepanjang pantai di tempat yang landai. Secara topografi letak desa berada tepat di pinggir pantai, namun di belakang pemukiman penduduk terletak perbukitan kapur dengan ketinggian 15 – 50 m di atas permukaan laut. Pada deretan perbukitan kapur inilah terdapat ceruk-ceruk gua yang diperkirakan dihuni oleh manusia pra sejarah. Sedangkan ceruk peneduh Tanjung Pinang terletak sekitar 2 km sebelah selatan desa Daeo. Selain di daerah perbukitan di pinggir pantai juga terdapat sebuah ceruk hunian yang agak besar, dibanding yang terletak di daerah perbukitan. Manusia prasejarah umumnya tinggal di daerah yang dekat dengan sumber mata air dan sumber makanan. Berdasarkan penelitian Bellwood, situs gua hunian Daeo dan Tanjung Pinang sudah dihuni sejak 14.000 tahun lalu. Bahkan pada masa belakangan situs-situs tersebut masih digunakan oleh manusia purba.Berdasarkan temuan rangka manusia di Gua Tanjung Pinang, diketahui manusia penghuni gua Tanjung Pinang berasal dari ras Austro Melanesia
Fungsi gua hunian prasejarah dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu.
a. Sebagai tempat tinggal
            Gua-gua dan ceruk payung peneduh (rock shelter), sering digunakan manusia sebagai tempat berlindung dari gangguan iklim, cuaca (angin, hujan dan panas), dan juga gangguan dari serangan binatang buas atau kelompok manusia yang lain. Pada periode penghunian gua, yang paling awal tampak adalah gua digunakan sebagai tempat tinggal (hunian), kemudian kurun waktu berikutnya dijadikan tempat kuburan dan kegiatan spiritual lainnya. Pada awal-awal penghunian, tempat hunian menyatu dengan tempat kuburan. Tetapi seiring dengan kemajuan teknologi dan semakin bertambahnya jumlah anggota kelompok yang membutuhkan ruangan yang lebih luas, maka mendorong manusia untuk mencari tempat tinggal yang baru. Seiring perkembangan wawasan dan pengetahuan, manusia kemudian memisahkan tempat hunian dan kuburan.
b. Sebagai kuburan
            Selain sebagai tempat tinggal, gua hunian juga berfungsi sebagai kuburan. Posisi penguburan dalam gua biasanya dalam keadaan terlipat, yang menurut pendapat para ahli merupakan posisi pada waktu bayi dalam posisi di dalam rahim ibunya. Penguburan manusia dalam gua pada awalnya sangat sederhana sekali, berupa penguburan langsung (primair burial), dengan posisi mayat terlentang atau terlipat, ditaburi dengan warna merah (oker). Bukti penguburan tertua dalam gua dapat ditemukan pada situs Gua Lawa di Sampung, Jawa Timur.
            Pola penguburan dalam gua secara umum dapat dibagi menjadi penguburan langsung (primair burial) dan penguburan tidak langsung (second burial), baik yang menggunakan wadah ataupun yang tidak menggunakan wadah. Wadah yang biasa digunakan adalah tempayan keramik (guci), gerabah, ataupun peti kayu dalam berbagai ukuran. Posisi mayat yang paling sering ditemukan adalah lurus, bisa telentang, miring dengan berbagai posisi dengan tangan terlipat atau lurus. Posisi lainnya adalah posisi terlipat dengan lutut menekuk dibawah dagu dan tangan melipat dibagian leher atau kepala. Dalam periode penghunian gua, kegiatan penguburan merupakan salah satu kegiatan manusia yang dianggap penting. Awalnya penguburan dilakukan dalam gua yang sama dengan tempat hunian, yaitu di tempat yang agak dalam dan gelap. Namun seiring perkembangan jumlah anggota dan wawasan pengetahuan, maka manusia mencari lokasi khusus yang digunakan sebagai lokasi kuburan yang terpisah dari lokasi hunian. Sehingga kemudian ditemukan adanya gua-gua yang khusus berisi aktivitas sisa-sisa penguburan saja.
c. Sebagai lokasi kegiatan industri alat batu
            Selain sebagai tempat hunian dan kuburan, fungsi yang lainnya adalah sebagai tempat lokasi kegiatan alat-alat batu atau perbengkelan. Banyak situs gua-gua prasejarah yang ditemukan adanya alat-alat batu dan sisa-sisa pembuatannya. Dalam hal ini bekas-bekas pengerjaan yang masih tersisa berupa serpihan batu yang merupakan pecahan batu inti sebagai bahan dasar alat batu. Situs perbengkelan ini banyak terdapat di pegunungan Seribu Jawa (daerah Pacitan), dan juga di Sulawesi Selatan. Salah satu situs yang banyak tinggalan sisa alat batu adalah situs yang terdapat di Punung (Pacitan) yang merupakan sentra pembuatan kapak perimbas yang kemudian lebih dikenal dengan istilah chopper chopping tool kompleks.
            Dari uraian di atas, dan berdasarkan temuan peninggalan yang ada dapat diketahui fungsi dari gua hunian di Tanjung Pinang dan Daeo. Gua peneduh Tanjung Pinang dan Daeo merupakan situs tempat tinggal (hunian) yang menyatu dengan kuburan, hal ini dapat dilihat dari adanya temuan sisa-sisa aktifitas manusia masa lampau dan temuan tulang manusia yang berasal dari ras Austro Melanesoid. Penguburan yang dilakukan di Tanjung Pinang adalah penguburan tidak langsung, posisi mayat ditemukan dalam wadah yang berupa tembikar. Temuan sisa aktifitas manusia masa lalu situs Tanjung Pinang dan Daeo adalah adanya sisa pembakaran dan sisa sampah dapur (kulit kerang dan siput yang merupakan makanan manusia penghuni gua).

 BAB 3 : Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan :
  • Pola hunian manusia purba terbagi 2 yaitu nomaden dan sedenter
  • Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografis, situs-situs, dan kondisi lingkungan
  • Pola kehidupan manusia purba memiliki 2 karakter khas yaitu kedekatan dengan sumber air dan kehidupan di alam terbuka
  • Berdasarkan data arkeologi, api kira-kira ditemukan pada 400.000 tahun yang lalu pada periode manusia homo erectus
  • Api ditemukan dengan prinsip trial and error
  • Peralihan zaman Mesolithikum ke Neolithikum menandakan adanya revolusi kebudayaan dari food gathering menuju food producing dengang Homo sapien
  • Ke datanga Rumpun Austronesia dari Yunnan ke Indonesia, mengenalkan rakyat indonesia cara berlayar, bertani, berdagang, dan barter
  • Fungai gua hunian pada masa praaksara berdasarkan situs Daeo dan Tanjung Pinang ada 3 yaitu sebagai tempat tinggal, kuburan, dan tempat produksi alat batu

Senin, 03 Maret 2014

Kiat Sukses Ujian Nasional


 


Guna mempersiapkan mental, spiritual, sekaligus menambah motivasi balajar peserta didik kelas akhir (kelas 6 SD, kelas 9 SLTP dan kelas 12 SLTA), yang sebentar lagi menghadapi Ujian Nasional (UN), Dewan Keluarga Masjid (DKM) Riyadlus Shalihin Parung Bogor, bekerja sama dengan Yayasan Pembinaan Umat (YPU) Bina Ilmu Parung dan SLTP Islam Parung menggelar Doa Jelang Ujian Nasional (DJUN) 2012 dengan tema ‘’Raih Kesuksesan dan Kemuliaan’’  Jum'at (6/4).

Dalam acara yang dimulai sejak pukul 08.00 sampai pukul 11.00 Wib menghadirkan Ustaz Asep Saefullah MA, salah seorang ustaz Majelis Zikir Az-Zikra pimpinan Ustadz Muhammad Arifin Ilham, yang mengawali kegiatan dengan zikir, doa dan muhasabah. Sementara motivasi dan tausiyah disampaikan Ustaz Hasan Basri Tanjung, dosen Universitas Djuanda (UNIDA) Bogor yang juga ketua Yayasan Pendidikan Islam Dinamika Umat Kemang Bogor, Jawa Barat. 

Ustaz Saefullah dalam muhasabah mengingatkan orang yang melakukan ibadah dengan sungguh-sungguh,  pasti belajarnya sungguh-sungguh. ''Ilmu itu cahaya, wudhu itu cahaya jadi kalau kita sebelum belajar, berwudhu dulu maka ilmunya akan masuk ke hati,'' tandas Saefullah.

Ia menuturkan ada empat hal yang tak boleh dilupakan menjelang ujian. Pertama, belajar sungguh-sungguh. Kedua, berdoa sunggung-sungguh, minta sama Allah dengan  qiyamul lail. ''Jangan lupa minta doa kepada kedua orang tua,''ujarnya.

Kiat yang ketiga agar sukses ujian setelah ikhtiar, dan doa adalah husnudzdzan (baik sangka) dan optimis. ''Hamba Allah yang beriman optimis hatinya dan tidak fesimis. Optimis didapati karena doanya, iktiarnya sungguh-sungguh.''  Dan kiat keempat tawakal. ''Siapa orang yang menyerahkan hasilnya kepada Allah, maka Allah-lah yang memenuhi kebutuhannya,'' jelas Ustaz Saefullah.

Caranya, sambung Ustadz Saefullah, bangun malam, Tahajjud. Sebelum belajar membuka Alquran, lalu dibaca, bagi yang laki-laki berjamaah di masjid lebih utama. ''Allah selalu bersama hambanya yang malamnya tahajjud, siangnya dhuha lalu bersedekah, karena malaikat mendoakan hambanya sedekah. Menjaga whudu. Istighfar kepada Allah, zikrullah setiap hari,'' paparnya.

Apabila rohani sudah terpenuhi maka jasmani juga harus dijaga. Jasad, fisik harus dijaga. ''Kita diciptakan oleh Allah fi ahsani taqwim, maka itu kita jaga dengan makan yang bergizi, makan yang halal, istirahat teratur, jangan begadang, manfaatkan waktu semaksimal mungkin.''

Yang keempat potensi hati, qalbu. Ada orang yang hatinya bersih, ada yang hatinya berpenyakit, dan ada yang hatinya mati. ''Anak-anak menjelang Ujian Nasional bersihkan hati dengan zikir, doa, muhasabah. Segala sesuatu ada pengkilapnya. pengkilap hati adalah dengan zikir. Jika hati kita jernih maka pikiran bersih. Zikir dan doa dengan sunggungh-sungguh. Saat ini kita duduk di sini minta sama Allah bersihkan hati,''paparnya.

Sementara, Ustadz Hasan Basri Tanjung MA, dalam pesan-pesannya di hadapan sekitar 800 peserta kelas akhir dari tingkat SD, SLTP dan SLTA, dari kecamatan Parung, Ciseeng, Kemang, dan Kota Depok memaparkan kiat-kiat sukses menghadapi Ujian Nasional 2012. ''Modal utama menghadapi Ujian Nasional adalah kayakinan.'' tandasnya.

Kunci sukses, sambung Hasan Basri, dengan lima Ber. Ber yang pertama adalah berniat. ''Orang yang mau berhasil harus berniat. Dalam niat ada keyakinan,'' tandasnya. Kemudian ber yang kedua, berilmu. 

''Karena semua amal atau pekerjaan harus dengan ilmu. Ber yang ketiga, berusaha. Memaksimalkan ikhtiar dengan sungguh-sungguh, Man jadda wa jada. Ber yang keempat adalah bersyukur. ''Allah memberikan potensi dan bakat, akal, insting, dan indera yang berbeda pada setiap orang. Bersyukur adalah jalan keberhasilan (QS. 14: 7). Dan ber yang kelima adalah bersabar. Sabar adalah kekuatan dan keteguhan hati.''

Kamis, 27 Februari 2014

Story tellingkuu :)
Uprak*
The Lake Toba




Once upon the time, there was a poor farmer. He lived in a small bamboo hut near his rice field. He lived with other farmers in the village.
On day, he wanted to catch some fish for his dinner. Just as he caught a big and fresh fish, he heard a voice. “Please dont kill me. If you let me live and put me into your rice field, you will have your dinner on your dining table.”
“No probelm.” Said the farmer
When the farmer wnt home, he was very surprised. His dimer was already set on the table.
Another day, he went to the rice field and looked for the fish. He heard some voice. “Im here, near you.” Suddenly, there was a beutiful girl beside him. Of course he was very surprised. “Are you the fish that I caught yesterday?”.
“Yes, I am”. Thanks for your help. Would you marry me? “. Replied the girl.
“Of course. I would be honored, “said the farmer happily
“But on one condition. Never tell our children that i was once a fish, “ added the girl
“I give you my words, “ promised the farmer
Well. . after one year they had a son. They called him Sam.
Years later, the mother asked sam to bring lunch to his father at the rice field. Feeling hungry, the boy ate his father’s lunch on the way. Knowing this, the farmer was angry. “You are a naughty boy! You won’t be a good boy because you are actually a son of a fish!”
The boy cried and told his mother what he heard from his father. The mother went to the rice field and said angrily, “You have broken your promise. Now you must be punished.”

Then, she left her husband. And suddenly. . a big tide came and engulfed the village. The flood made a deep vast lake. People call it Lake Toba .